Para pengusaha penggilingan padi pemasok beras ke Perum Bulog mengeluhkan maraknya aksi premanisme beras yang meminta komisi setiap kali mereka membeli beras dari petani. Akibatnya, kualitas beras yang dipasok ke Bulog di bawah standar.
Penurunan mutu beras itu karena terpangkas biaya preman. Belum lagi karena tipisnya margin usaha penggilingan.
Hal itu terungkap dalam acara dialog Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi dengan para pengusaha penggilingan pemasok beras ke Perum Bulog, Senin (5/4/2010) di Karawang, Jawa Barat.
Bayu menyatakan, pada kenyataannya uang preman tersebut mengakibatkan peningkatan biaya produksi yang dampaknya menekan pendapatan petani.
Apakah harus memasukkan komponen biaya preman dalam penghitungan harga pembelian pemerintah (HPP) beras, tanya wartawan. ”Saya kira tidak. Bagaimanapun preman salah dan itu harus diatasi, tidak bisa dibiarkan. Kalau dibiarkan, akan berdampak pada kualitas penyerapan raskin,” katanya.
Bagaimana mengatasinya. Tentu dengan melakukan pendekatan keamanan. Namun, pendekatan keamanan semata tidak cukup, harus ada pendekatan ekonomi karena bagaimanapun mereka memerlukan lapangan kerja. Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat juga bisa turut berperan.
Menurut Ruskim, pengusaha penggilingan padi, uang yang diminta para preman dilakukan setiap kali ada transaksi jual-beli gabah. Untuk setiap kilogram gabah, para preman mematok komisi Rp 50-Rp 70.
”Bila dihitung dalam satu kuintal, jatah preman mencapai Rp 5.000. Uang yang harus diberikan kepada para preman ini lebih besar daripada margin yang ditetapkan pemerintah untuk pengusaha penggilingan dalam HPP yang hanya Rp 4.500 per kilogram,” katanya.
Pemerintah menetapkan HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 2.600 per kg, sedangkan HPP GKP di tingkat penggilingan hanya Rp 2.645.
Idealnya, selisih harga GKP di tingkat petani dan di penggilingan Rp 90 per kg. Kalau biaya pengeluaran untuk jatah preman juga dimasukkan, idealnya selisih harga mencapai Rp 140. Perhitungan itu didapat dengan menghitung biaya transportasi per kilogram serta biaya bongkar muat, angkut, dan pengepakan.
Tidak berani
Para pengusaha penggilingan menyatakan, mereka tidak bisa berbuat banyak dengan kehadiran preman. Kalau tidak mengikuti pola mereka, para pengusaha penggilingan terancam tidak kebagian padi. ”Yang kami sesalkan, mereka bisa leluasa melakukan itu tanpa ada tindakan dari aparat penegak hukum,” katanya. Pendapat senada diungkapkan Tatang.
Para pengusaha penggilingan dan petani tidak berani melawan. Kalau tidak mau memberikan uang preman, ban sepeda motor petani di sawah bisa dikempesi. Bahkan, alat penyemprot bisa diambil saat petani lengah.
Tidak hanya saat petani menjual gabah kepada pengusaha penggilingan yang dimintai uang preman, tetapi petani yang menjual gabah kepada saudaranya juga harus membayar uang jatah preman.
Bagaimana mengatasinya. Tentu dengan melakukan pendekatan keamanan. Namun, pendekatan keamanan semata tidak cukup, harus ada pendekatan ekonomi karena bagaimanapun mereka memerlukan lapangan kerja. Pemerintah daerah dan tokoh masyarakat juga bisa turut berperan.
Menurut Ruskim, pengusaha penggilingan padi, uang yang diminta para preman dilakukan setiap kali ada transaksi jual-beli gabah. Untuk setiap kilogram gabah, para preman mematok komisi Rp 50-Rp 70.
”Bila dihitung dalam satu kuintal, jatah preman mencapai Rp 5.000. Uang yang harus diberikan kepada para preman ini lebih besar daripada margin yang ditetapkan pemerintah untuk pengusaha penggilingan dalam HPP yang hanya Rp 4.500 per kilogram,” katanya.
Pemerintah menetapkan HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 2.600 per kg, sedangkan HPP GKP di tingkat penggilingan hanya Rp 2.645.
Idealnya, selisih harga GKP di tingkat petani dan di penggilingan Rp 90 per kg. Kalau biaya pengeluaran untuk jatah preman juga dimasukkan, idealnya selisih harga mencapai Rp 140. Perhitungan itu didapat dengan menghitung biaya transportasi per kilogram serta biaya bongkar muat, angkut, dan pengepakan.
Tidak berani
Para pengusaha penggilingan menyatakan, mereka tidak bisa berbuat banyak dengan kehadiran preman. Kalau tidak mengikuti pola mereka, para pengusaha penggilingan terancam tidak kebagian padi. ”Yang kami sesalkan, mereka bisa leluasa melakukan itu tanpa ada tindakan dari aparat penegak hukum,” katanya. Pendapat senada diungkapkan Tatang.
Para pengusaha penggilingan dan petani tidak berani melawan. Kalau tidak mau memberikan uang preman, ban sepeda motor petani di sawah bisa dikempesi. Bahkan, alat penyemprot bisa diambil saat petani lengah.
Tidak hanya saat petani menjual gabah kepada pengusaha penggilingan yang dimintai uang preman, tetapi petani yang menjual gabah kepada saudaranya juga harus membayar uang jatah preman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar