Ada lompatan besar antara menjadi pekerja dan menjadi pengusaha. Tidak semua orang berhasil melakukannya. Di Pancur, Rembang, 12 ibu bersepakat menjadi pengusaha batik, pengetahuan yang sudah mereka hidupi dari belia.
Keinginan menjadi pengusaha batik tidak tiba-tiba. Lembaga swadaya masyarakat Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang menginduksi keinginan berubah dari pekerja menjadi majikan. Karya mereka dipamerkan di Jakarta awal pekan ini bersamaan dengan peuncuran buku terbitan IPI, Potret Kehidupan Pembatik di Lasem Rembang (Hempri Suyatna, William Kwan, Dyah Rosiana, dan Dewi Meiyani) serta Eksplorasi Sejarah Batik Lasem (William Kwan, Dyah Rosina, dan Aulia Hadi).
"Saya ditawari Pak William Kwan dari IPI untuk punya usaha batik sendiri tahun 2004, tetapi belum berani karena saya sekolah hanya sampai kelas I SD. Lalu kalau mau pinjam kredit untuk modal bagaimana mengembalikannya," kata Ramini (45).
Perlu waktu 2 tahun sampai akhirnya Ramini pada 2006 mendirikan Kelompok Usaha Bersama Srikandi. Dia menjadi ketua dan memiliki 11 anggota. Motivasi utama tetaplah menyumbang pada pendapatan keluarga. Selain itu, mereka ingin memiliki usaha sendiri.
Keinginan untuk dikenal sebagai pembatik mendorong Mariyati (34), Wakil Ketua KUB Srikandi, rela tidak lagi menerima jahitan di rumah. Berasal dari keluarga pembatik, Mariyati memiliki keterampilan membatik. Namun, pekerjaan sebagai buruh batik membuat dia anonim karena yang mendapat nama perusahaan batik.
Meskipun KUB belum dapat membagi keuntungan kecuali uang kerja harian, tetapi Mariyati puas. Cita-citanya, batiknya akan dikenal orang. "Kalau menjahit, sehari bisa menyelesaikan 2-3 baju, ongkosnya Rp 10.000-Rp 12.000 per baju. Dari membatik, sekarang dapat uang harian dari kelompok Rp 14. 000 kerja dari Senin-Sabtu," ujar Mariyati.
Modal awal dibantu IPI berupa bahan baku dan peralatan. Mereka juga didampingi IPI untuk menggunakan pewarna alam. "Sengaja dari awal kami ajak mereka mengenal proses yang lebih sulit supaya tidak menggampangkan," kata Kwan.
Pameran pertama mereka di Jakarta sukses, sebagian besar batik mereka terjual. Meski begitu, Ramini mengatakan, pemasaran masih menjadi kendala mereka. Pemasaran masih ke dekat-dekat Rembang; ke Juwana, Kudus, dan yang sampai Surabaya.
Jiwa wirausaha nyatanya berkembang pada anggota KUB. Mereka rajin menghasilkan corak baru agar pembeli tak bosan. Batik karya Ramini, Damai Sejahtera, bahkan menjadi finalis ASEAN Award for Young Artisans in Textiles setelah diikutkan Dekranas dalam ASEAN HAndicraft Promotion and Development Association di Bangkok, Thailand, November 2009.
Pembagian Kerja
Di Pancur, perempuan terlibat dalam semua proses, mulai dari membatik, mewarna, hingga melepas malam (lorodan). Para lelaki kebanyakan bekerja sebagai petani atau kerja lain, seperti mengojek.
Belakangan, IPI mencoba mengenalkan cap kepada perempuan pembatik. Selama ini cap dianggap sebagai pekerjaan untuk laki-laki karena alat cap yang terbuat dari logam cukup berat.
Di rumah tangga, pembagian peran juga tak terlalu ketat. Perempuan terbiasa ke luar rumah mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi. Tak jarang penghasilan mereka menjadi tiang penting rumah tangga karena penghasilannya lebih tetap.
Memburuh batik artinya meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, bahkan kadang meninggalkan desa. Sebagian perempuan Pancur bersepeda sejauh 50 kilometer ke Lasem untuk memburuh batik.
Di rumah, meskipun sebagian kerja rumah tangga dikerjakan perempuan, para suami dan anak laki-laki tidak keberatan membantu.
"Bapak-bapak membolehkan kami ke Jakarta karena kami belum pernah ke Jakarta dan ini untuk pemasaran batik kami. Mereka bisa masak sendiri dan ada yang anaknya sudah besar, bisa bantu ngurus rumah," kata Mariyati.
Jam kerja anggota KUB pukul 08.00-16.00. Sesampai di rumah, Mariyati dan Ramini mencuci baju dan bersih-bersih rumah, lalu beristirahat sejenak selepas magrib hingga pukul 19.00. Setelah itu, Mariyati membatik sampai pukul 22.00. Dia bangun pukul 04.00 untuk masak dan membereskan rumah. "Suami dan anak-anak masih tidur ketika saya bangun," katanya.
Suami Mariyati mengojek malam hari. Pada musim hujan, dia menggarap sawah milik orangtua. Saat musim kemarau, dia menjaga dan membersihkan rumah. Dengan cara ini, Mariyati dan ibu-ibu KUB bisa bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan, dan aktualisasi diri. Di Pancur, itu dimungkinkan, karena relasi dalam rumah tangga lebih egaliter.
Beragam
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir abad ke-19. Warna merah batik Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh air tanah dan iklim setempat.
Invasi Jepang pada 1942-1945 membuat semua usaha batik tutup. "Di Pekalongan lahir corak hokokai, tetapi di Lasem tak tampak pengaruh Jepang," kata Kwan.
Setelah itu, batik Lasem lambat bangkit kembali karena pemakai kain tinggal para perempuan Tionghoa lanjut usia, sementara pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname pun berubah selera.
Pemilik usaha batik Lasem juga berubah. Bila hingga tahun 1990-an, semua usaha batik milik keturunan Tionghoa, setelah krisis ekonomi tahun 1998, muncul pengusaha batik suku Jawa. "Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tionghoa dan 4 Jawa. Sekarang, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua pertiganya suku Jawa," kata Kwan.
Karena yang dapat menjadi pengusaha adalah orang kaya setempat, IPI yang melakukan peneliatian dan aksi tentang keberagaman di Rembang mencoba mengajak buruk batik juga menjadi pengusaha. "Dari beberapa pembatik, Bu Ramini itu yang paling berani bersuara dan bisa memimpin," ujar Kwan.
Dalam pameran awal pekan lalu terlihat berbagai pengaruh budaya dalam batik Lasem. Kerajaan Mataram Hindu memberi pengaruh pada Lasem, kemudian Champa, China, dan tentu saja Islam. Bahkan, kini warna batik yang disukai adalah hijau yang memperlihatkan pengaruh Islam. Pengaruh China masih terlihat pada corak seperti naga, burung hong, dan mata ayam yang mirip uang kepeng.
Kini, regenerasi pembatik juga dilakukan. Anip Khanifah (16), putri Mariyati, ikut dalam sanggar batik yang diinisiasi IPI. Karya Anip berupa batik corak komik habis diborong pembeli. Lasem akan ikut berputar bersama waktu. Ke mana arahnya, itu ada di tangan perempuan pembatik setempat.
(Ninuk Mardiana Pambudy/Harian Kompas)
Jumat, 02 April 2010
Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Rembang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar