Ada lompatan besar antara menjadi pekerja dan menjadi pengusaha. Tidak semua orang berhasil melakukannya. Di Pancur, Rembang, 12 ibu bersepakat menjadi pengusaha batik, pengetahuan yang sudah mereka hidupi dari belia.
Keinginan menjadi pengusaha batik tidak tiba-tiba. Lembaga swadaya masyarakat Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang menginduksi keinginan berubah dari pekerja menjadi majikan. Karya mereka dipamerkan di Jakarta awal pekan ini bersamaan dengan peuncuran buku terbitan IPI, Potret Kehidupan Pembatik di Lasem Rembang (Hempri Suyatna, William Kwan, Dyah Rosiana, dan Dewi Meiyani) serta Eksplorasi Sejarah Batik Lasem (William Kwan, Dyah Rosina, dan Aulia Hadi).
"Saya ditawari Pak William Kwan dari IPI untuk punya usaha batik sendiri tahun 2004, tetapi belum berani karena saya sekolah hanya sampai kelas I SD. Lalu kalau mau pinjam kredit untuk modal bagaimana mengembalikannya," kata Ramini (45).
Perlu waktu 2 tahun sampai akhirnya Ramini pada 2006 mendirikan Kelompok Usaha Bersama Srikandi. Dia menjadi ketua dan memiliki 11 anggota. Motivasi utama tetaplah menyumbang pada pendapatan keluarga. Selain itu, mereka ingin memiliki usaha sendiri.
Keinginan untuk dikenal sebagai pembatik mendorong Mariyati (34), Wakil Ketua KUB Srikandi, rela tidak lagi menerima jahitan di rumah. Berasal dari keluarga pembatik, Mariyati memiliki keterampilan membatik. Namun, pekerjaan sebagai buruh batik membuat dia anonim karena yang mendapat nama perusahaan batik.
Meskipun KUB belum dapat membagi keuntungan kecuali uang kerja harian, tetapi Mariyati puas. Cita-citanya, batiknya akan dikenal orang. "Kalau menjahit, sehari bisa menyelesaikan 2-3 baju, ongkosnya Rp 10.000-Rp 12.000 per baju. Dari membatik, sekarang dapat uang harian dari kelompok Rp 14. 000 kerja dari Senin-Sabtu," ujar Mariyati.
Modal awal dibantu IPI berupa bahan baku dan peralatan. Mereka juga didampingi IPI untuk menggunakan pewarna alam. "Sengaja dari awal kami ajak mereka mengenal proses yang lebih sulit supaya tidak menggampangkan," kata Kwan.
Pameran pertama mereka di Jakarta sukses, sebagian besar batik mereka terjual. Meski begitu, Ramini mengatakan, pemasaran masih menjadi kendala mereka. Pemasaran masih ke dekat-dekat Rembang; ke Juwana, Kudus, dan yang sampai Surabaya.
Jiwa wirausaha nyatanya berkembang pada anggota KUB. Mereka rajin menghasilkan corak baru agar pembeli tak bosan. Batik karya Ramini, Damai Sejahtera, bahkan menjadi finalis ASEAN Award for Young Artisans in Textiles setelah diikutkan Dekranas dalam ASEAN HAndicraft Promotion and Development Association di Bangkok, Thailand, November 2009.
Pembagian Kerja
Di Pancur, perempuan terlibat dalam semua proses, mulai dari membatik, mewarna, hingga melepas malam (lorodan). Para lelaki kebanyakan bekerja sebagai petani atau kerja lain, seperti mengojek.
Belakangan, IPI mencoba mengenalkan cap kepada perempuan pembatik. Selama ini cap dianggap sebagai pekerjaan untuk laki-laki karena alat cap yang terbuat dari logam cukup berat.
Di rumah tangga, pembagian peran juga tak terlalu ketat. Perempuan terbiasa ke luar rumah mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi. Tak jarang penghasilan mereka menjadi tiang penting rumah tangga karena penghasilannya lebih tetap.
Memburuh batik artinya meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, bahkan kadang meninggalkan desa. Sebagian perempuan Pancur bersepeda sejauh 50 kilometer ke Lasem untuk memburuh batik.
Di rumah, meskipun sebagian kerja rumah tangga dikerjakan perempuan, para suami dan anak laki-laki tidak keberatan membantu.
"Bapak-bapak membolehkan kami ke Jakarta karena kami belum pernah ke Jakarta dan ini untuk pemasaran batik kami. Mereka bisa masak sendiri dan ada yang anaknya sudah besar, bisa bantu ngurus rumah," kata Mariyati.
Jam kerja anggota KUB pukul 08.00-16.00. Sesampai di rumah, Mariyati dan Ramini mencuci baju dan bersih-bersih rumah, lalu beristirahat sejenak selepas magrib hingga pukul 19.00. Setelah itu, Mariyati membatik sampai pukul 22.00. Dia bangun pukul 04.00 untuk masak dan membereskan rumah. "Suami dan anak-anak masih tidur ketika saya bangun," katanya.
Suami Mariyati mengojek malam hari. Pada musim hujan, dia menggarap sawah milik orangtua. Saat musim kemarau, dia menjaga dan membersihkan rumah. Dengan cara ini, Mariyati dan ibu-ibu KUB bisa bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan, dan aktualisasi diri. Di Pancur, itu dimungkinkan, karena relasi dalam rumah tangga lebih egaliter.
Beragam
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir abad ke-19. Warna merah batik Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh air tanah dan iklim setempat.
Invasi Jepang pada 1942-1945 membuat semua usaha batik tutup. "Di Pekalongan lahir corak hokokai, tetapi di Lasem tak tampak pengaruh Jepang," kata Kwan.
Setelah itu, batik Lasem lambat bangkit kembali karena pemakai kain tinggal para perempuan Tionghoa lanjut usia, sementara pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname pun berubah selera.
Pemilik usaha batik Lasem juga berubah. Bila hingga tahun 1990-an, semua usaha batik milik keturunan Tionghoa, setelah krisis ekonomi tahun 1998, muncul pengusaha batik suku Jawa. "Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tionghoa dan 4 Jawa. Sekarang, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua pertiganya suku Jawa," kata Kwan.
Karena yang dapat menjadi pengusaha adalah orang kaya setempat, IPI yang melakukan peneliatian dan aksi tentang keberagaman di Rembang mencoba mengajak buruk batik juga menjadi pengusaha. "Dari beberapa pembatik, Bu Ramini itu yang paling berani bersuara dan bisa memimpin," ujar Kwan.
Dalam pameran awal pekan lalu terlihat berbagai pengaruh budaya dalam batik Lasem. Kerajaan Mataram Hindu memberi pengaruh pada Lasem, kemudian Champa, China, dan tentu saja Islam. Bahkan, kini warna batik yang disukai adalah hijau yang memperlihatkan pengaruh Islam. Pengaruh China masih terlihat pada corak seperti naga, burung hong, dan mata ayam yang mirip uang kepeng.
Kini, regenerasi pembatik juga dilakukan. Anip Khanifah (16), putri Mariyati, ikut dalam sanggar batik yang diinisiasi IPI. Karya Anip berupa batik corak komik habis diborong pembeli. Lasem akan ikut berputar bersama waktu. Ke mana arahnya, itu ada di tangan perempuan pembatik setempat.
(Ninuk Mardiana Pambudy/Harian Kompas)
Jumat, 02 April 2010
Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Rembang
Selasa, 30 Maret 2010
Bisnis ISP Kelas Rumahan

Semakin banyak orang yang enggan berpisah dari internet, barang sehari pun. Tak sedikit orang dan perusahaan yang makin bergantung pada internet, dari sekadar untuk menyapa teman lama sampai melancarkan urusan bisnis nan serius.
Tak heran, kini warung internet (warnet) selalu penuh pengunjung. Kian banyak pula orang yang lebih suka mengakses internet di rumah dengan cara berlangganan layanan akses internet sendiri. Selain tak perlu keluar rumah, mereka lebih bebas menentukan waktu ngenet.
Sekarang banyak tawaran berlangganan internet di rumah. Selain menjadi pelanggan layanan internet service provider (ISP) kelas kakap, termasuk melalui operator telepon seluler, kita bisa juga berlangganan layanan dari ISP-ISP kecil.
Sebenarnya nyaris tak ada beda antara ISP kelas rumahan ini dan ISP kelas kakap. Asal tahu saja, kebanyakan pebisnis ISP kelas rumahan ini sebenarnya mendapatkan akses internet dari ISP besar juga. “Intinya, kami berbagi jaringan ke pelanggan,” ujar Mulyadi Bakir, penyedia ISP kelas rumahan.
Praktik bisnis ini memang mirip dengan bisnis warnet. Perbedaannya, pelanggan tidak perlu bertandang ke warnet bila ingin berselancar ke dunia maya. Penyedia layanan ISP akan menyediakan jaringan internet ke rumah pelanggan.
Ternyata, bisnis ini cukup mendapat sambutan yang positif. Selain karena kualitas internet lebih stabil ketimbang akses internet dari operator ponsel, akses internet melalui ISP umumnya juga lebih cepat ketimbang di warnet. Itu sebabnya, banyak orang lebih suka menggantungkan layanan dari ISP kelas rumahan ini.
Mandiri
Tengok saja, pengalaman usaha Mulyadi yang menggeluti usaha internet rumahan ini sejak empat tahun lalu. Menamai usahanya dengan nama Warnet Rumahan, Mulyadi mengawali usaha dengan membuka warnet. Seiring dengan banyaknya permintaan pelanggan untuk pemasangan instalasi internet ke rumah, Mulyadi bertekad membangun jaringan. “Modal awalnya hanya Rp 40 juta untuk membuat menara dan jaringan,” cetus dia.
Berbeda dengan bisnis warnet yang digelutinya, usaha ISP yang dilakoninya lebih mudah. Dia, misalnya, tak perlu menyediakan komputer, pemilik rumah yang jadi pelanggan pasti punya komputer sendiri. Mulyadi hanya perlu membagi bandwidth atau kapasitas jaringan internet yang dibelinya dari ISP kelas kakap.
Cara Mulyadi menggulirkan bisnis ini kurang lebih seperti berikut. Dia berlangganan internet dari ISP perusahaan telekomunikasi dengan kapasitas bandwidth sebesar 1,7 megabyte berbiaya berlangganan Rp 1,1 juta per bulan.
Dari jatah bandwidth yang dia peroleh, Mulyadi bisa melebarkan jaringan internet ke sekitarnya melalui teknologi tanpa kabel. Para pelanggan kudu membayar jaringan yang dipakainya Rp 250.000 per bulan.
Sayang, tawaran ini kurang menarik di mata pelanggan. Kata Mulyadi, banyak pelanggan lebih suka memanfaatkan jaringan internet yang dia sediakan dengan sistem perhitungan per jam. “Biayanya cuma Rp 3.500 per jam,” katanya.
Nah, dengan pola perhitungan per jam inilah Mulyadi justru memperoleh penghasilan lumayan, yakni Rp 400.000 per hari. Dalam sebulan Mulyadi bisa membukukan omzet Rp 12 juta. Setelah dikurangi biaya operasional serta gaji pegawai, keuntungan bersih yang dia dapat sekitar Rp 4 juta.
Rupanya, ada sebab pelanggannya lebih suka hitungan per jam seperti di warnet. “Pelanggan bisa memaksimalkan penggunaan internet di rumah saat membutuhkan tanpa perlu ongkos besar,” terang dia. Mulyadi juga diuntungkan dalam pembagian kecepatan dan kestabilan layanan internet karena pelanggan umumnya tak memakai dalam waktu bersamaan.
Selain usaha ini, Mulyadi juga bisa memperoleh penghasilan lain dari melayani pemasangan dan instalasi jaringan internet di seluruh DKI Jakarta. Khusus untuk layanan internet berlangganan di rumah, jangkauan pasar dia baru seputar rumahnya di Cikokol, Tangerang.
Kalau tertarik ingin menjalankan bisnis serupa, sebelum membuka usaha sebaiknya Anda terlebih dulu mengurus izin mendirikan usaha serta izin menjadi distributor ISP dari Departemen Komunikasi dan Informatika serta membangun menara. “Ini enggak gampang, tapi bisa dilakukan,” ujar Mulyadi berbagi tip.
Senin, 29 Maret 2010
Usaha Katering dengan Menu Sehat

Kesadaran penduduk kota besar untuk mengonsumsi makanan sehat tampaknya semakin meningkat. Terbukti dari semakin banyaknya rumah makan yang menyajikan makanan sehat. Begitu juga katering yang khusus melayani pelanggan yang ingin mendapatkan menu dengan gizi seimbang, bahkan yang khusus menu vegetarian.
Salah satu usaha katering yang menyajikan menu-menu sehat ini adalah My Choice, yang dirintis oleh Merry Syanti Dewi sejak tahun 2003.
Katering yang dirintis sejak tahun 2003 itu menyajikan menu masakan yang diklaim menggunakan bahan-bahan yang sehat, dan menerapkan gizi seimbang. Bahan-bahan masakannya menggunakan bahan organik, sedangkan nasi putih digantikan dengan beras merah, ubi merah, dan roti gandum.
My Choice juga tidak menggunakan penyedap masakan seperti vetsin, bahkan tidak menggunakan garam. Kunci dari cita rasa masakannya adalah bumbu-bumbu yang didapatkan dari penggunaan buah-buahan. Contohnya, rasa asam diperoleh dari jeruk lemon, jus jeruk, atau apel, sedangkan rasa manis dari kayu manis. Sup tom yam, misalnya, bumbunya diracik dari buah apel, belimbing, jus jeruk, tomat, dan lemon.
Untuk beberapa makanan yang menggunakan santan, Merry menggantikan santan dengan susu kedelai. Kebanyakan menu yang disajikan dibuat dengan cara direbus atau dikukus, atau ditumis dengan sedikit minyak.
"Minyak yang kami gunakan adalah minyak canola dan olive oil. Dua jenis minyak ini tergolong non kolesterol, dan aman untuk memasak," ujarnya pada Kompas Female.
Menu yang ditawarkan katering My Choice kebanyakan menu ala barat seperti chicken fillet, tenderloin steak, salmon steak, meat loaf, chicken honey, atau chicken pasta. Untuk satu set menu (lengkap) Merry mematok harga Rp 60.000-Rp 130.000, sudah termasuk ongkos kirim. Satu set menu lengkap terdiri atas sup, salad, menu utama (daging/ikan/ayam), dan dessert (jus, susu kacang, buah atau jelly).
Segi kesehatan dan keamanan juga diperhitungkan oleh Merry dalam menyajikan masakannya. Ia tidak menggunakan kotak kardus atau styrofoam, melainkan wadah yang berkategori foodgrade (aman untuk masakan panas).
Anak ikut kontes kebugaran
Ide awal mendirikan My Choice berasal dari anak tertua Merry, Felix Cahyono, yang pada tahun 2003 berniat mengikuti kontes kebugaran yang diselenggarakan oleh tempat fitness-nya.
Merry, yang saat itu memang sudah memiliki usaha katering, lantas berinisiatif menyiapkan sendiri makanan sehat buat sulungnya itu. Ia hanya mengandalkan kemampuannya memasak untuk mencoba-coba berbagai menu makanan sehat. "Saya menggunakan panduan memasak sehat untuk diet olahragawan. Semua rata-rata menu dari buku masakan asing," jelasnya.
Bila selama ini makanan sehat identik dengan rebus-rebusan, hambar, dan tidak memiliki rasa, di tangan Merry makanan sehat memiliki cita rasa yang tak kalah dengan makanan pada umumnya. Bisa ditebak kemudian, teman-teman Felix ternyata menyukai masakan Merry. Dari sanalah pesanan makanan sehat bermula.
Usaha katering pun beralih mengkhususkan diri menyajikan menu sehat. Merry sadar, saat itu konsep makanan sehat belum populer di kalangan masyarakat. Untuk memperkenalkan kateringnya, Merry menyebarkan flyer ke berbagai pusat kebugaran, fakultas kedokteran di Universitas Atmajaya, apotek, sport club, hingga rumah-rumah biasa. Ia juga menawarkan kerjasama dengan beberapa majalah kesehatan seperti Prevention dan Muscle.
Agar informasi mengenai bisnisnya makin mudah dijangkau khalayak, "Kami membangun website khusus dan Facebook," ungkap Merry.
Tahun 2006 Merry berhasil menjalin kerjasama dengan Celebrity Fitness untuk memberikan demo masakan sehat. Untuk mendapatkan pelanggan, Merry menerapkan semacam sistem multilevel marketing. Para personal trainer diajak ikut menggaet pelanggan. Bila berhasil, mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar 10 persen per bulan.
Orang yang belum mengenal katering My Choice tentu masih ragu untuk menerima tawaran ini. Untuk itu Merry memberikan beragam jenis diskon, misalnya diskon 15 persen untuk mereka yang ingin mencoba, diskon satu kali gratis pengiriman dalam satu bulan untuk pelanggan, dan jika pelanggan berhasil mendapatkan tiga pelanggan baru, mereka mendapat bonus gratis ongkos kirim.
Keuntungan Rp 30-40 juta per bulan
Mendirikan katering dengan segmentasi khusus seperti My Choice, menurut Merry membutuhkan modal yang ekstra. Modal awal sebesar Rp 100 juta digunakannya untuk membeli peralatan memasak khusus yang diimpor dari Amerika, bahan makanan, wadah saji, sarana transportasi, hingga iklan atau kegiatan demo.
Setelah bisnis berkembang, Merry juga masih menemui sejumlah kesulitan. Mulai dari pangsa pasar yang terbatas, pelanggan yang rata-rata cepat bosan, atau pelanggan yang mengeluhkan rasa masakan yang hambar atau rasa kurang pas.
Rata-rata pelanggan juga mengeluhkan harga masakan yang mahal. Tetapi Merry selalu berusaha menjelaskan bahwa harga yang mahal itu dikarenakan penggunaan bahan-bahan, pengemasan, hingga menu dan porsinya yang diperhitungkan dengan cermat.
"Akhirnya mereka sadar kalau harga itu sangat reasonable," ungkap perempuan yang juga membuka toko penganan di Mal Ambassador, Jakarta Selatan ini.
Karena keterbatasan lingkup pemasarannya itulah, rata-rata pelanggan Merry saat ini adalah personal trainer, anggota pusat kebugaran, dokter, hingga orang-orang yang memiliki problem kesehatan seperti diabetes, hipertensi, dan sakit jantung.
Hingga saat ini order yang datang mencapai 20-30 boks per hari. Jumlah ini di luar pesanan arisan, ulangtahun, atau pesanan dalam jumlah besar lainnya. Dalam sebulan, Merry bisa meraup keuntungan bersih Rp 30 - 40 juta.
Berangkat dari kebiasaan makan makanan sehat dalam keluarganya, kini Merry bisa menularkan kebiasaan tersebut pada masyarakat umum. Dan mendapatkan keuntungan darinya.
My Choice: Muara Karang C9 No. 10, Jakarta Utara. Telepon: 021-97315200
Minggu, 28 Maret 2010
Bisnis Sulaman Tas Tangan

Endang Rachminingsih menekuni sulam tangan sejak tahun 2005. Berkat kesabaran dan komitmennya terhadap sulaman, kini ia dipercaya mengisi butik dan toko suvenir di Istana Negara Republik Indonesia. Tak hanya itu, hasil-hasil sulamannya kini telah melanglang buana hingga ke luar negeri.
Kompas Female mendatangi rumah wanita kelahiran Bogor, 50 tahun silam itu di bilangan Meruya Selatan. Pada salah satu bagian dari rumah wanita empat anak itu dipenuhi dengan koleksi hasil kerajinan tangannya, sulaman tangan, dan sulaman mesin (bordir).
Hasil sulamannya itu ia terapkan menjadi tas tangan nan cantik, kotak tisu, kipas, hiasan dinding, hingga dompet. Endang, begitu ia akrab disapa, mengaku kalau memulai usaha sulam ini awalnya hanya untuk mengisi kekosongan setelah sang suami meninggal tahun 2004 silam.
Saat itu Endang tidak memiliki kesibukan apapun. Idenya timbul setelah membongkar koleksi buku yang dihadiahi oleh almarhum suaminya saat berdinas ke luar negeri. Buku-buku itu rata-rata adalah buku sulaman dan buku keterampilan.
Berbekal dengan keteguhan dan kesungguhan niat, Endang mempelajari sulaman tangan secara otodidak. ''Saya belajar dari nol. Saat itu saya hanya tahu hanya dua dasar teknik menyulam, yaitu tusuk batang dan rantai,'' ujar wanita yang besar di Madiun ini.
Satu bulan lamanya ia mempelajari teknik menyulam dan aplikasinya lewat buku-buku tersebut. Akhirnya ia bisa menguasai teknik-teknik dasarnya. Sembari belajar, ia juga melatih kemampuannya dengan memberikan kursus gratis pada anak-anak SLB di bilangan Meruya.
Saat itu sulaman yang dibuat diterapkan menjadi tas yang amat sederhana. ''Hasil sulaman anak-anak SLB saya potong dan jadikan tas yang sederhana sekali,'' kenang peraih sejumlah penghargaan UKM (Usaha Kecil Menengah) itu.
Tanpa disangka, ternyata hasil tas sederhana yang ia buat laku. Setelah itu ia mulai serius menekuni sulaman. Endang bekerja sama dengan dua orang penjahit untuk membuat sulamannya menjadi tas-tas cantik.
Ia tidak merasa kesulitan untuk mencari model untuk tas-tas pesanannya. Selain mencontoh dari buku-buku, Endang juga memiliki skill merangkai bunga yang ia pelajari dari Mayasari, sebuah perkumpulan merangkai bunga pimpinan Ir Suliantoro di Yogyakarta.
''Menyulam itu sama dengan merangkai bunga. Bedanya, menyulam menggunakan benang sedangkan merangkai menggunakan bunga segar. Secara teknik, sama,'' imbuhnya. Lewat keterampilan merangkai bunga itu ia memilih gradasi warna, motif, dan rangkaian sesuai dengan imajinasi dan pengalamannya dahulu.
Toko suvenir di Istana Negara
Bisnis sulaman Endang yang diberi nama Rumah Sulam Rachmy kian berkembang pesat. Terlebih setelah tahun 2006 ia memasukkan sejumlah kreasi sulamannya ke sejumlah toko ternama. Sebut saja toko Danarhadi, Martha Tilaar, Allure Batik, Chic Mart, hingga toko suvenir dan cinderamata Istana Negara RI. Khusus pesanan Istana Negara tidak dijual bebas.
Bahkan ia kerapkali dipercaya oleh ibu Hassan Wirajuda dan ibu Jusuf Kalla untuk membuatkan pesanan khusus bagi tamu negara. Terakhir ia mengikuti bazar dan pameran di Jepang bersama Yayasan Sulam Indonesia yang diketuai ibu Jero Wacik.
Ia mengawali kiprah penjualan ke pangsa pasar luas saat ia berkenalan dengan Ibu Wiwoho, penanggung jawab bagian barang di Danarhadi. Setelah lewat pemberitaan di media cetak dan elektronik, ia diminta untuk mengisi koleksi tas di sana.
Sedangkan untuk bisa masuk ke Istana Negara ia mengaku awalnya kenal dengan istri dari wakil duta besar Indonesia di Singapura. ''Setelah itu suaminya, Kemal Munawar, diangkat menjadi kepala rumah tangga Istana Negara. Jadilah saya diminta untuk mengisi toko suvenir dan cinderamata di sana,'' ungkapnya.
Allure juga sempat memintanya untuk mengisi koleksi tas mereka di Kemang. Perkenalannya dengan Djaka dari Allure dalam pameran INA CRAFT 2006 membuahkan kepercayaan untuk bekerjasama. ''Saya rajin ikut pameran INA CRAFT, caranya saya mendaftar lewat kantor UKM Jakarta Barat agar merek saya didaftarkan untuk pameran,'' katanya.
Sementara itu untuk menembus jalur hingga ke Jepang ia mengaku memiliki sepupu yang merupakan bendahara di Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional). Endang akhirnya dikenalkan pada Ibu Jero Wacik yang merupakan salah satu pengurusnya. Dekranas yang bernaung di bawah Departemen Pariwisata dan Kebudayaan mengajaknya untuk ikut pameran ke Jepang awal Februari 2010.
Mengurangi pesanan
Sejak tahun 2006 hingga awal 2009 pesanan tas sulamnya makin membludak. Saat itu memiliki 17 pekerja yang bertugas membordir dan juga menyulam. Ia sempat kewalahan dan tidak memiliki waktu bermain dengan empat orang cucunya.
''Saat itu kegiatan saya bukan hanya memenuhi pesanan. Saya juga dipanggil untuk mengajar TKW di Singapura, guru-guru SMK di Jakarta, sekolah-sekolah, atau lewat departemen dan instansi pemerintah,'' jelasnya. Bahkan ia juga menelurkan dua buah buku tentang sulaman di tengah-tengah kesibukannya itu.
Endang akhirnya berpikir untuk tetap bisa membagi waktu dengan keluarga sambil meneruskan usahanya. Awal tahun 2009 ia memutuskan untuk menghentikan beberapa kerjasamanya. ''Saya membuka butik dan workshop di rumah sambil juga memenuhi panggilan mengajar,'' tegasnya.
Ia mengajar ibu-ibu Darmawanita dan TKW yang dikarantina di Singapura, workshop di Bali bersama Samuel Wattimena dan istri wakil gubernur Bali, Ibu Bintang, mengajar sulaman pada anak-anak dhuafa di Joglo, dan lainnya.
Meskipun saat ini hanya menjalani usaha sulaman, namun orderan tidak pernah putus. Ia memperkerjakan 6 orang pembuat bordir dan tas, juga 3 orang penyulam tangan. Dalam satu bulan ia bisa menghasilkan puluhan tas sulam. Omzet yang diraihnya berkisar Rp 10-30 juta.